Jangan Cemas Punya Anak Hiperaktif
Yogyakarta, Anak hiperaktif biasanya susah memusatkan perhatian, bereaksi cepat tanpa
pikir panjang dan beraktifitas fisik yang berlebihan. Banyak orangtua yang
kadang menyerah memiliki anak hiperaktif. Tapi jangan khawatir, anak hiperaktif
juga bisa dikendalikan dan tak kalah pintar dari anak normal.
Di Indonesia, sekitar 10 persen anak usia Sekolah Dasar (SD) mengalami
perilaku hiperaktif. Anak hiperaktif menunjuk pada ketidakmampuan untuk
mengontrol perilaku, sehingga aktivitas melebihi rata-rata anak pada umumnya.
Perilaku hiperaktif ini dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain sebab
kadangkala anak tidak bisa memperkirakan dampak akibat dari perilakunya.
"Anak yang hiperaktif tidak selalu identik dengan bodoh atau kurang
pintar. Anak tersebut hanya tidak bisa memusatkan perhatiannya dengan
baik," kata Dr. M.G. Adiyanti, M.S., psikolog anak dari Fakultas Psikologi
UGM seusai seminar "Apakah Anak Saya Hiperaktif?” di Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (9/7/2011).
Adiyanti mengatakan anak hiperaktif berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas yang terstruktur, sehingga sang anak membutuhkan keteraturan dan ketekunan berkesinambungan. Di sekolah, hal yang banyak ditemui adalah kegagalan dalam mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak hiperaktif seringkali mengalamai kesulitan terutama dalam mempertahankan pertemanan.
Adiyanti mengatakan anak hiperaktif berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan dalam menjalankan tugas-tugas yang terstruktur, sehingga sang anak membutuhkan keteraturan dan ketekunan berkesinambungan. Di sekolah, hal yang banyak ditemui adalah kegagalan dalam mengikuti proses belajar mengajar di sekolah, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam pergaulan sehari-hari, anak hiperaktif seringkali mengalamai kesulitan terutama dalam mempertahankan pertemanan.
Menurut dia, hiperaktivitas memiliki tiga gejala utama. Pertama, in-atensi
yakni tidak dapat memusatkan perhatian. Kedua, impulsivitas atau mereaksi
dengan cepat tanpa harus berpikir panjang. Ketiga hiperaktivitas, yakni
aktivitas fisik yang berlebihan diatas usia rata-rata anak seusianya.
Selain faktor fisiologis dan neurologis kata dia, dampak pola konsumsi obat
tertentu menjadi faktor yang terjadinya hiperaktivitas. Jika penyebab keduanya
tidak ditemukan, kemungkinan anak tersebut tidak mendapatkan cara pendidikan
norma perilaku secara tepat.
"Untuk mengatasinya, orang tua dan guru di sekolah harus mampu
mengatur pola komunikasi dengan anak secara baik. Kebiasaan bertindak kasar dan
bersuara keras pada anak sebaiknya dihindarkan," katanya.
Sementara itu menurut dokter spesialis anak, dr. Ratih SPA, anak hiperaktif
terjadi akibat gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Hal itu terjado
pada 4-6 persen anak usia sekolah dan 2-4 persen pada usia dewasa.
"Lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan wanita. Umumnya pada
anak sebelum usia 7 tahun," kata Ratih.
Ratih mengatakan tujuh faktor yang menjadi penyebab anak jadi hiperaktif
yakni faktor genetik, diet gula dan zat pengawet, pola asuh yang buruk, masalah
keluarga, sekolah yang tidak efektif, adanya pengaruh rokok dan alkohol saat
kehamilan serta adanya perlukaan di otak.
Untuk mengetahui anak hiperaktif atau tidaknya, maka orang tua harus
mengetahui gejala anak hiperaktif ditandai perilaku mudah frustasi, mudah
menangis, overaksi dan cepat marah. Selanjutnya, ditunjukkan rasa percaya diri
yang rendah, sulit berteman, sulit beradaptasi dan kurang matang secara sosial.
"Kalau ada anak yang hiperaktif, selain perlu terapi konseling dan
obat-obatan, perlu juga adanya peran orang tua dan sekolah dalam memberi
pendidikan yang baik pada anak," katanya.
Ratih mengatakan untuk mencegah anak jadi hiperaktif, orangtua disarankan
untuk selalu menghargai anak apa adanya. Salah satu cara adalah habiskan waktu
lebih banyak dengan anak. Selalu berbicara lembut dan gunakan bahasa yang
positif. "Namun tidak mentolerir perilaku yang tidak sesuai,"
katanya.
Menurut Ratih anak hiperaktif tidak bisa sembuh hanya dengan cara diobati.
Namun butuh terapi dari psikolog, dokter anak, tim tumbuh kembang anak,
dukungan keluarga dan guru sekolah yang baik. Dengan perawatan yang
terintegerasi maka anak hiperakif bisa dikendalikan.
"Anak yang hiperaktif bisa menjadi anak yang tidak kalah sukses jika
hiperaktif dapat terkontrol, dan bisa bersosialisasi dan disiplin yang
baik," pungkas Ratih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar